BERIKAN INFORMASI CUACA YANG AKURAT DAN TERPERCAYA AGAR TEMAN KITA SELAMAT SERTA TERCIPTA PROFESIONAL KERJA
toolbar powered by Conduit

Kamis, 28 Januari 2010

Wind Shear”, Ancaman Dunia Penerbangan

TANGGAL 2 Agustus 1985 hujan badai (thunderstorm) menghantam Bandar Udara Internasional Dallas-Fort Worth (DFW), Texas, Amerika Serikat dan sekitarnya. Ketika itu, pesawat Delta Airlines Flight 191 Lockheed L1011 jumbo jet dengan 163 penumpang dan kru tengah mendekati (approach) landas pacu untuk mendarat. Hujan lebat dan petir menyambar-nyambar di atas landas pacu di depan lintasan pesawat terbang. Tetapi, pilot menilai bahwa kondisi cuaca buruk tersebut dapat dilewati dan ia memutuskan mendaratkan pesawat di tengah badai.
Sekira 25 - 30 detik setelah pesawat memasuki daerah cuaca buruk tersebut, hujan dan petir semakin menjadi-jadi. Pesawat terguncang oleh angin yang bergerak ke atas dan ke bawah. Kecepatan angin dari arah depan (headwind) dengan cepat bertambah 26 knot (sekira 48 km/jam). Kemudian arah angin berubah dengan cepat menjadi dari arah belakang pesawat (tailwind) dengan kecepatan 46 knot (85 km/jam). Akibatnya, kecepatan terbang pesawat berkurang 72 knot (130 km/jam) seketika.
Dengan ketinggian pesawat yang hanya 800 kaki (240 m) dari permukaan tanah ketika memasuki cuaca buruk tersebut, hanya tersisa sedikit ruang bagi pilot untuk bermanuver karena pesawat mulai kehilangan kecepatan dan ketinggian. Klimaksnya, tiga puluh delapan detik kemudian, pesawat pun jatuh terempas dan hampir menewaskan semua penumpang dan kru. Hanya 26 orang yang selamat.
Jatuhnya Delta Airlines Flight 191,tak pelak, mengguncang rakyat Amerika. Publisitas pun meluas. Meluasnya publisitas mengenai musibah jatuhnya pesawat terbang akibat fenomena cuaca yang dikenal dengan istilah wind shear kemudian mencuatkan keprihatinan tentang keselamatan penerbangan.
Fenomena ”thunderstorm”
Apa itu wind shear ? Wind shear merupakan fenomena alam yang didefinisikan sebagai suatu perubahan baik arah maupun kecepatan angin dalam jarak yang pendek atau waktu yang cepat. Perubahan ini dapat terjadi pada arah mendatar maupun vertikal atau keduanya sekaligus. Perubahan ini mempunyai efek menggunting atau menyobek, sehingga harus diwaspadai oleh pilot.
Masalah yang dialami oleh pesawat terbang dengan adanya wind shear terjadi ketika terbang dengan kecepatan hanya sedikit di atas kecepatan stall (kecepatan minimum yang diperlukan supaya dapat terbang). Hal ini terjadi pada waktu pesawat yang tengah take off (lepas landas) dan landing (mendarat). Dalam fase take off dan landing ini, perubahan kecepatan angin yang besar dapat mengubah secara signifikan besarnya gaya angkat pesawat terbang.
Pada dasarnya, pesawat terbang dapat mengudara karena adanya gaya angkat yang dihasilkan oleh--salah satunya--komponen kecepatan relatif antara kecepatan pesawat terbang dengan kecepatan angin pada lintasan terbangnya. Ketika pesawat terbang mendapat headwind (angin dari arah depan), maka pesawat terbang akan mendapat gaya angkat tambahan yang ditimbulkan oleh komponen kecepatan angin. (Ketika pesawat terbang akan mendarat, biasanya dikompensasikan dengan mengurangi tenaga mesin).
Demikian sebaliknya bila mendapat tailwind, pesawat terbang akan mendapat pengurangan gaya angkat. Apabila hal ini terjadi pada kondisi wind shear, besar kemungkinan pesawat terbang akan stall atau kehilangan gaya angkat, yang akibatnya juga akan kehilangan ketinggian terbang. Ada tiga hal vital apakah pesawat terbang akan selamat ketika mengalami wind shear yang ekstrem, yakni ketinggian pesawat, pengalaman pilot, dan jenis pesawat .
Fenomena wind shear dapat terjadi karena adanya variasi kondisi meteorologi yang besar, seperti temperature inversion, sea breeze, frontal system, dan thunderstorm. Pada kasus kecelakaan pesawat terbang, wind shear terjadi akibat microburst yang dipicu oleh thunderstorm. Pada waktu terjadi thunderstorm, kolom udara besar yang dingin dan padat turun ke permukaan bumi dengan kecepatan tinggi. Kolom udara berkecepatan tinggi ini disebut downburst. Begitu mencapai permukaan bumi, downburst akan memencar secara horizontal ke segala arah yang kemudian akan bercampur dengan udara yang lebih hangat sehingga terjadi putaran angin yang bergulung-gulung. Microburst adalah downburst dengan diameter kurang dari 2,5 mil (4 km).
Microburst dapat terjadi tanpa adanya hujan di permukaan bumi dalam kasus yang disebut virga. Hal ini berkaitan dengan dry microburst, hujan akan menguap di ketinggian yang kemudian akan mendinginkan udara sekitarnya sehingga terjadi downdraft (angin bertiup ke bawah). Dari beberapa pengamatan, biasanya downburst akan berlangsung selama 15-20 menit.
Salah satu downburst yang terkenal adalah yang terjadi pada tahun 1983 di Andrews Air Force Base di Washington DC, Amerika Serikat dengan kecepatan angin mencapai 150 mph (240 km/jam), cukup untuk bisa ”menjatuhkan” pesawat terbang. Downburst menjadi terkenal karena nyaris mengubah sejarah Amerika Serikat, bahkan mungkin sejarah dunia. Kenapa? Beberapa menit sebelum terjadi, pesawat Air Force One yang membawa Ronald Reagan yang pada waktu itu adalah kandidat presiden, mendarat di pangkalan udara tersebut!
Sulit dideteksi
Pengertian downburst dan microburst diperkenalkan pertama kali oleh ahli meterologi Amerika Serikat kelahiran Jepang, Dr. Tetsuya Theodore Fujita pada tahun 1975. Fujita memperkenalkan teori tersebut ketika turut menyelidiki terjadinya kecelakaan pesawat terbang Eastern Airlines Boeing 727 di John F. Kennedy International Airport , New York, AS, pada 24 Juni, 1975, yang menewaskan 112 orang.
Alasan lain mengapa microburst ini berbahaya bagi penerbangan adalah kenyataan bahwa kehadiran microburst sangat sulit untuk dideteksi. Untuk membantu pilot mendapatkan peringatan yang lebih baik adanya wind shear microburst—dipicu oleh musibah Eastern Airlines tersebut—Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA, Federal Aviation Administration) mengembangkan sistem peringatan dini wind shear. Sistem itu disebut Low Level Windshear Alert System (LLWAS) dan mulai diterapkan pada tahun 1976. LLWAS terdiri dari beberapa alat pengukur kecepatan angin yang ditempatkan di beberapa lokasi di sekitar bandar udara (bandara).
LLWAS bekerja dengan membandingkan arah dan kecepatan angin dari beberapa sensor yang berbeda. Apabila terdapat perbedaan kecepatan angin sekira 15 knot atau lebih antar-alat pengukur tersebut, maka akan ditransmisikan kepada Air Traffic Controller (Pengawas Lalu Lintas Udara) bandara. Kemudian, seluruh informasi data akan diberitahukan kepada para pilot yang berada di daerah sekitar bandara.
Akan tetapi, sistem ini mempunyai beberapa kelemahan. Instrumentasi yang digunakan tidak dapat mengukur angin yang bertiup di atas sensor dan juga tidak dapat mencatat kekuatan angin dalam arah vertikal. Bahkan data yang direkam pun masih memerlukan waktu beberapa menit untuk sampai ke pengontrol.
Ketidakmampuan LLWAS ini terbukti ketika terjadi kecelakaan pesawat Delta yang jatuh di Dallas pada tahun 1985. Padahal, bandara tersebut sudah dilengkapi dengan LLWAS yang baru mengeluarkan peringatan adanya wind shear justru beberapa menit setelah pesawat terbang tersebut menghujam bumi. Keterlambatan peringatan LLWAS juga terjadi ketika Boeing 727 PanAm jatuh di New Orleans pada tahun 1982.
Dengan adanya kelemahan pada sistem LLWAS tersebut, kemudian pada tahun 1986 dikembangkan pendeteksi yang lebih canggih, yaitu Terminal Doppler Weather Radar (TDWR) yang berbasiskan sistem radar Doppler gelombang mikro (microvawe). Sistem baru tersebut terbukti sangat efektif untuk mendeteksi adanya wind shear.
Pada awalnya, yang dikembangkan adalah Reactive Wind Shear System (RWS) yang bekerja berdasarkan sensor yang terdapat pada pesawat terbang seperti kecepatan, akselerometer, sudut serang, dan data data sensor lainnya untuk memverifikasi apakah pesawat sudah ”bertemu” dengan wind shear.
FAA mewajibkan semua pesawat komersial mempunyai wind shear detection system tersebut pada akhir tahun 1993. Akan tetapi--seperti yang terjadi pada kecelakaan pesawat USAir flight 1019 pada 2 Juli 1994, ketika akan mendarat di Charlotte/Douglas International Airport, Charlotte, North Carolina--sistem ini ternyata gagal. Karena itu, dikembangkan sistem yang lebih mampu memprediksi atau ”melihat” wind shear sebelumnya sehingga dapat dihindari. Hasil usaha bersama NASA dan FAA selama sekira tujuh tahun sejak 1986, akhirnya berhasil dengan ditemukannya sistem pendeteksi dini wind shear yang dipasang di pesawat terbang, berbasiskan radar Doppler, yaitu Predictive Wind Shear System (PWR).
Pada tahun 1996, semua pesawat terbang komersial diwajibkan memasang peralatan PWR ini. Semua pilot telah belajar mendeteksi adanya wind shear melalui kemampuan mengenali aktivitas virga, thunderstorm, microburst, angin topan, dan laporan laporan dari pilot lainnya. Mereka juga dilatih untuk mampu menghindar dari thunderstrorm, hujan lebat, dan daerah yang kemungkinan akan terjadi wind shear. Kalau wind shear yang ekstrem diprediksi akan terjadi, mereka diharuskan menunda lepas landas atau mendarat.***

By Meteorology Supadio
Pemerhati dunia penerbangan, alumnus AMG tahun 2000